Monday, September 5, 2016

Nasib Profesor Indonesia (2)

Kamis, 01 September 2016, 06:00 WIB

Nasib Profesor Indonesia (2)

Red: Maman Sudiaman


REPUBLIKA.CO.ID, Jika Presiden Jokowi mengharapkan gurubesar (dan juga dosen yang belum profesor) yang mengajar di Amerika Serikat dan/atau negara-negara lain kembali ke Tanah Air (Resonansi pekan lalu (25/8/2016), pertimbangkanlah nasib profesor dan dosen di Tanah Air. Nasib yang boleh dibilang nelangsa, hampir bisa dipastikan membuat patah selera mereka yang mungkin punya niat kembali ke Tanah Air.
Simaklah kisah nyata ini. Dalam ujian disertasi doktor di sebuah PTN pekan lalu, penulis Resonansi ini yang turut menjadi salah seorang penguji menerima periwayatan sahih mutawatir dari beberapa profesor lain yang juga menguji.
Ini kisah nyata tentang absensi—semua profesor dan dosen lain harus membuktikan kehadirannya di kampus. Lazimnya dengan sidik jari (finger print) pada awal jam kerja di pagi hari dan akhir jam kerja di sore hari.
Ternyata finger-print tidak lagi memadai karena bisa ‘dikerjain’ melalui cara tertentu yang penulis Resonansi ini juga tidak paham. Karena itulah pembuktian kehadiran melalui finger-print mesti dilengkapi atau diganti dengan ‘irisan retina mata’ (eye scan/retinal screening/IRIS) yang ‘konon’ tidak bisa dikelabui.
Sang profesor menyampaikan riwayat. Pertama kali ketika retina matanya direkam dalam data base kehadiran, dia tidak memakai tutup kepala. Di hari berikut, ketika dia ingin merekam kehadiran lewat retina mata, mesin absensi ‘enggan’ mencatat kehadirannya karena dia memakai peci hitam. Memakai peci haji sekalipun juga ditolak.
Penggunaan retina mata untuk identifikasi (sebagai bukti kehadiran) ini jelas bahkan lebih ketat daripada skrining sekuriti di bandar udara. Sampai sekarang skrining di bandara umumnya masih konvensional dengan X-Ray; satu dua bandara terutama di AS memakai alat yang memutari sekujur tubuh (detection portal machine atau Explosive Tracen Detection/ETD).
Skrining dengan retina mata nampaknya juga belum lazim di markas lembaga keamanan nasional semacam FBI atau CIA di AS atau ASIO di Australia. Identifikasi karyawan cukup dengan ID resmi yang dikombinasikan dengan finger-print; untuk tamu cukup dengan dua ID Card yang ada fotonya. Karena itu, penggunaan finger-print—apalagi retina mata—untuk identifikasi kehadiran profesor dan dosen jelas berlebihan. Sejauh ini tidak ada universitas manapun di dunia ini yang memerlukan identifikasi finger print dan eye screening—yang degrading, merendahkan dan humiliating, menghinakan.
Apakah hal seperti ini bisa diterima orang Indonesia yang menjadi profesor di AS atau negara lain? Menjadi profesor di Amerika tidak memerlukan kehadiran setiap hari—apalagi jika mesti dibuktikan dengan finger-print dan/atau retina mata.
Mereka datang ke kampus hanya pada hari tertentu—dua atau tiga hari—pada jam tertentu untuk mengajar dan menerima mahasiswa berkonsultasi di kantor masing-masing selama satu atau dua jam.
Dengan begitu, para profesor memiliki banyak waktu untuk membaca, menulis dan melakukan penelitian, apakah di rumah, di kantor, atau di perpustakaan atau di lapangan. Semua kegiatan ini dimungkinkan karena dana penelitian melimpah baik dari universitas dan lembaga pemerintah atau swasta.
Berapa banyak profesor dan dosen lain di Indonesia yang mempunyai kantor di kampus? Bisa dipastikan mayoritas terbesar—antara 80 sampai 90 persen—tidak punya kantor. Perencanaan pembangunan gedung kampus Indonesia lazim tidak memprioritaskan penyediaan kantor profesor dan dosen lain.
Karena itu, kebanyakan mereka menerima konsultasi mahasiswa di rumah masing-masing atau di ruang bersama dosen atau di kelas seusai memberi kuliah. Dengan keadaan ini, bagaimana mereka bisa membaca, menulis, dan meneliti secara kondusif. Rumah tidak selalu kondusif; apalagi bagi profesor dan dosen lain yang hanya mampu memiliki rumah sederhana—jika tidak ‘sangat sederhana’.
Di tengah suasana tidak kondusif, para profesor dituntut menulis setidaknya dalam setahun satu artikel ilmiah di jurnal internasional. Ini bukan tantangan mudah, karena jurnal internasional umumnya berbahasa asing. Rata-rata profesor dan dosen Indonesia lemah dalam bahasa asing.
Lagi pula jurnal internasional yang benar-benar kredibel sangat kompetitif. Jika artikel yang dikirimkan dinilai blind reviewer (penilai ‘buta’) tidak mengandung hal baru, bisa dipastikan artikel tersebut ditolak. Karenanya artikel itu harus berdasarkan penelitian serius; bukan penelitian berdana DIPA yang jauh daripada memadai untuk membiayai penelitian serius.
Tidak ada empati di sini. Sebaliknya profesor yang gagal menerbitkan artikelnya di jurnal internasional sampai akhir 2017 mendapat ‘ancaman’ dari Kemristek-Dikti bakal dicabut tunjangan kehormatannya—besarnya dua kali gaji pokok yang sekitar Rp 5 jutaan.
Jika keadaannya begini, masih bisakah Presiden Jokowi optimistis merepatriasi profesor asal Indonesia di AS atau negara lain untuk kembali ke Tanah Air? Wallahu a’lam bish-shawab.
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/08/31/ocs7ai319-nasib-profesor-indonesia-2

No comments: