Friday, March 4, 2016

al-Razi: Ilmuan dan Filosof Islam

AL-RAZI: ILMUAN DAN FILOSOF ISLAM
Joni Harnedi Abstrak; al-Razi: Ilmuan dan Filosof Muslim.

Peradaban Islam telah melahirkan ramai filosof sekaligus saintis yang hebat dan terkenal dalam bidang masing-masing. al-Razi merupakan salah seorang ilmuan dalam Dunia Islam, dan mempunyai pengaruh yang besar kepada sains dan perubatan Eropah. Sebagai seorang filosof, banyak yang meragukan al-Razi bahkan menentang dan memusuhi beliau. Salah satu penyebab dia dimusuhi karena dia mengingkari kenabian sehingga para pengkritiknya enggan untuk menyampaikan pendapat al-Razi. Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan eksistensi filosof Muslim yang tidak hanya pada aspek filsafatnya saja, tetapi juga dapat mengangkat kembali sumbangan filosof muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Abstract: al-Razi: Scientist and moslem philosopher. Islam civilization has some great and famous philosophers and scientists, and they expert in their field. Al-Razi is a Muslim scientist, he has big influence to science and europe’s pharmacology. Many people feel in doubt to him, even they facing toward and make him as their enemy. One of the causes is he refuses the prophet, as a result their followers do not want to share his idea. This writing is aimed at explaining the existence of Muslim philosopher, it is not only in philosophy aspect, but also in raising up again the ideas of Muslim philosopher toward knowledge development.
Keyword: Rhazes, saintis, filosof muslim

A. PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap pemikiran Abu Bakar Zakaria al-Razi yang dikenal di dunia Barat dengan Rhazes. al-Razi adalah salah satu dari sekian banyak filosof yang sekaligus adalah saintis yang hebat dan terkenal di dunia Islam. Penyelidikan dan penemuan yang dilakukannya telah membantu perkembangan sains serta dijadikan rujukan utama diberbagai universitas di Eropa. Saat ini, kajian seperti ini tentunya perlu dilakukan dan telah mendapatkan momentumnya. Apalagi Kementerian Agama menggalakkan transformasi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang di launching langsung oleh Presiden RI Joko Widodo pada tgl 19 Desember 2014. Transformasi PTKIN didasarkan pada semangat integrasi keilmuan antara keislaman dan ilmu umum. Semangat integrasi keilmuan tersebut menjadi jargon PTKIN. Dengan adanya transformasi PTKIN tersebut diharapkan lahir hasil penelitian terhadap tokoh-tokoh Islam terutama filosof Muslim yang tidak hanya pada aspek filsafatnya saja, tetapi juga dapat mengangkat kembali sumbangan filosof muslim terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Peradaban Islam telah melahirkan ramai filosof sekaligus saintis yang hebat dan terkenal dalam bidang masing-masing. Penyelidikan dan penemuan yang dilakukan oleh mereka telah membantu perkembangan sains serta dijadikan rujukan utama oleh pelbagai universitas di Eropa. Hal ini disebabkan karena pada awal perkembangannya, filsafat ditegakkan atas dasar ilmu pengetahuan tentang matematika dan alam. Filosof Islam pada mulanya adalah cendikiawan dan ilmuwan kemudian meningkat hingga sampai menguasai ilmu filsafat. Agama, filsafat dan ilmu pengetahuan pernah memainkan peranan penting dalam pentas peradaban Islam. Setelah adanya kesesuaian dan keserasian di antara ketiga unsur tersebut yakni agama, filsafat dan ilmu pengetahuan maka berkembanglah peradaban Islam. Saat itulah perkembangan Islam yang sangat cemerlang. Namun setelah filsafat disingkirkan dari pembahasan dan penelitian berbagai ilmu, ditambah lagi zaman-zaman berikutnya umat Islam hanya membatasi diri pada penguraian buku-buku yang ditulis oleh para pendahulunya, akhirnya Filsafat Islam semakin melemah dan hanya tinggal sebagai pelajaran yang kosong dan hampa. Filsafat Islam akhirnya terpental ke luar gelanggang. al-Kindi sebagai filosof muslim pertama yang tercatat dalam sejarah perkembangan filsafat Islam merupakan filosof yang sangat mahir dalam bidang ilmu falak (astronomi). Begitu pula dengan Ibn Sina, filosof yang juga terkenal sebagai seorang dokter. Begitulah seterusnya seorang filosof yang terkenal terlebih dahulu mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Pada masa itu orang tidak akan terkenal sebagai Filosof sebelum ia mendalami berbagai cabang Ilmu Pengetahuan lebih dahulu, khususnya ilmu kedokteran. Hal ini berlanjut sampai Ibn Rusyd, beliau juga seorang dokter, bahkan menulis sebuah buku tentang kedokteran yang berjudul al-Kulliyat fi Tibb. Walaupun sumbangan yang diberikan oleh para saintis Islam terhadap perkembangan bidang sains amat besar sekali tetapi mereka tidak diberikan penghargaan dan pengiktirafan yang sewajarnya. Hanya segelintir saintis Islam yang diberikan kedudukan yang istimewa dalam dunia sains, apalagi di dunia barat. Antaranya termasuklah al-Battani (yang juga dikenali oleh barat sebagai Albategnieus), al-Zarkali (Arzachel), al-Farghani (al-Fafraganus), Ibnu Sina (Avicenna), Jabir ibn Hayyan (Geber), dan ibn Haitam (Alhazeh). Di samping tokoh-tokoh tersebut, seorang lagi saintis sekaligus filosof Islam yang menduduki kedudukan yang tinggi dalam bidang sains ialah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya Al-Razi atau juga dikenali di Eropah sebagai Rhazes.

B. RIWAYAT HIDUP DAN SUMBANGANNYA TEHADAP PERKEMBANGAN ILMU
     PENGETAHUAN
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya al-Razi dilahirkan pada tahun 865 Masehi (1 Sya’ban 251 H) di kota al-Rayy yang terletak di selatan Teheran. Dia meninggal di Al-Rayy pada tanggal 27 Oktober, 925 pada usia 60 tahun. Dia meninggal di al-Rayy pada tanggal 27 Oktober, 925 pada usia 60 tahun. Penulis menemukan data lain yang ditulis oleh Dr. Abdul Latif al-Fait dalam pengantar buku al-Tibb Ruhani karya al-Razi yang beliau Tahqiq sendiri. Dr. Abdul Latif menyatakan bahwa al-Razi dilahirkan tahun 864 Masehi (250 H). Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bulan Sya’ban tahun 312 H bertepatan 25 Oktober tahun 925 M. Umurnya lebih kurang 62 tahun hitungan kalender Hijriah (61 tahun kalender masehi).

al-Razi pada masa mudanya hidup di kota al-Rayy. al-Rayy dikenal pada masa itu sebagai kota perkembangan Ilmu pengetahuan dan peradaban. Dalam bahasa Parsi, Razi bermakna “dari bandar Rayy (juga dieja Ray, Rey, atau Rai, Parsi silam Ragha, Latin Rhagae) dahulunya salah satu kota besar di dunia, berdekatan dengan selatan dataran Elburz Range yang terdampar di selatan laut Caspian, terletak berhampiran Taheran, Iran. al-Razi sebagaimana Ibn Sina, membuat kebanyakan pencapaian hasil kerjanya di kota ini. Pada awalnya al-Razi tertarik dengan musik, setelah itu barulah ia mulai mempelajari filsafat, matematika , astronomi , kimia, dan obat-obatan. Kertertarikan al-Razi terhadap musik akhirnya melahirkan sebuah ensiklopedia musik. Saat umurnya 30 tahun, al-Razi menghentikan pekerjaan dan eksperimennya dalam bidang kimia. Eksperimennya dalam bidang kimia tersebut menyebabkan senyawa kimia mengenai matanya sehingga mengalami iritasi mata. Di antara penemuannya dalam bidang kimia adalah menemukan alkohol dan asam sulfat, yang telah memberi kontribusi pada kemajuan baik obat-obatan dan kimia.

Al-Razi adalah seorang dokter terkenal dalam sejarah medis bahkan sebagai tokoh paling terkenal di dunia kedokteran hingga abad ke-17. Sekitar 80 tahun sebelum Ibn Sina beliau telah menulis banyak buku tentang subjek medis yang berbeda. Walaupun sebelum Razi, telah ada yang menulis beberapa buku medis seperti Tabari, Namun al-Razi dengan bukunya "Al - Hawi" sebanyak 26 volumenya telah membuka cakrawala baru dalam berbagai aspek kedokteran yang banyak isinya masih berlaku sampai saat sekarang.

Ada perdebatan antara sejarawan, ke mana dan dari siapa al-Razi memperoleh pengetahuan medis. Sebagaimana al-Qifti dan Ibnu Abi Usaibi’ah telah memberikan informasi bahwa guru al-Razi adalah Ali Ibn Rabban Tabari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sirajuddin Zar, hal ini tentu hampir pasti tidak benar atau Sulit dipercaya. Karena Tabari meninggal di 861 AD ( 247 AH ), sementara al-Razi dilahirkan pada 865 AD (251 AH). Al-Razi dilahirkan setelah Tabari meninggal, mereka tidak pernah berjumpa. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa al-Razi pernah berguru kepada Tabari. Namun hal ini dimungkinkan, karena al-Razi telah mempelajari teks medis Tabari (seperti Firdaws Al-Hikmah). Itulah sebabnya al-Razi sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Qifti dan Ibn Abi Usaibi’ah menyebut bahwa Tabari adalah guru al-Razi dalam bidang kedokteran . Ali Ibn Sahl Rabban al-Tabari, seorang dokter dan filsuf lahir dari keluarga Yahudi di Merv, Tabaristan modern, sekarang dikenal dengan Iran. Ibn Rabban masuk Islam pada masa pemerintahan Abbasiyah Khalifah al-Mu'tasim. Al-Razi belajar kedokteran dan mungkin juga filsafat dengan Ibn Rabban. Oleh karena itu, minatnya dalam filsafat spiritual dapat ditelusuri kepada gurunya. al-Razi cepat melampaui gurunya, dan menjadi seorang dokter terkenal. Dia diangkat sebagai direktur rumah sakit kampung halamannya Al-Rayy pada masa pemerintahan Mansur Ibn Ishaq Ibn Ahmad Ibn Asad dari dinasti Samanian. Ketenaran al-Razi terdengar sampai ibukota kekhalifahan Abbasiyah. Dia dipanggil oleh Khalifah Al-Muktafi menjadi direktur atau kepala rumah sakit terbesar di Baghdad. al-Razi dikaitkan dengan metode yang luar biasa memilih lokasi untuk mendirikan rumah sakit baru. Ketika Menteri Kepala al-Muktafi, bernama Adhud al-Daullah, meminta dia untuk membangun rumah sakit baru di kota Baghdad. Setelah berfikir panjang dan berkonsultasi dengan teman-temannya untuk mendiskusikan tempat yang baik mendirikan sebuah rumah sakit, akhirnya al-Razi mengambil sebuah keputusan dengan menggunakan sebuah metode mengambil sepotong besar daging, setelah dipotong kecil-kecil digantungkan di tempat yang berbeda di pinggiran kota Baghdad. Setelah beberapa hari, al-Razi kembali ke tempat-tempat tersebut untuk melihat sejauh mana efek dari udara dan waktu terhadap daging tersebut. Jika potongan daging tersebut berubah dengan cepat, hal ini menunjukkan bahwa daerah ini tidak cocok untuk rumah sakit, tetapi jika sepotong daging tetap seperti itu tanpa kerusakan, itu menunjukkan wilayah udara yang baik, dan kesesuaian untuk proyek, dan akhirnya al-Razi memilih tempat yang tepat untuk membangun rumah sakit. Setelah menggunakan metode tersebut, al-Razi kembali kepada Khalifah untuk menyampaikan hasil dari kajiannya tersebut. Khalifah terkesan dengan metode yang digunakan oleh al-Razi dan memerintahkan untuk membangun sebuah Rumah Sakit di tempat yang disarankan oleh al-Razi tersebut.

Setelah kematian Khalifah al-Muktafi tahun 907 M, al-Razi kembali ke kampung halamannya al-Rayy. Dia bertanggung jawab atas rumah sakit di sana dan mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk mengajar. Dikatakan bahwa ia memiliki beberapa kalangan mahasiswa di sekelilingnya. al-Razi ketika itu adalah sheikh (gelaran bagi seseorang yang berhak mengajar) “with a big head similar to a sack’, dikelilingi oleh beberapa (surrounded by several) bulatan pelajar. Ketika seorang pasien datang dengan keluhan atau seseorang dari kaum awam memiliki pertanyaan; itu diteruskan ke mahasiswa "lingkaran pertama". Jika mereka tidak bisa memberikan jawaban, maka disahkan dengan yang di "lingkaran kedua" dan seterusnya. Jika semua gagal memberikan jawaban, maka barulah al-Razi datang untuk memberikan jawaban akhir.

al-Razi merupakan seorang yang pemurah, dengan sifat perikemanusiaan terhadap pesakitnya, dan murah hati terhadap golongan miskin. al-Razi sering kali memberikan rawatan penuh tanpa meminta bayaran, ataupun dalam bentuk lain. Apabila dia tidak bersama pelajar atau pasiennya, dia senantiasa menulis atau belajar. al-Razi telah melahirkan sejumlah besar inovasi dan karya perintis dalam ilmu kedokteran. Di antara karya dan penemuannya dalam bidang kedokteran ialah risetnya tentang urologi, termasuk di dalamnya Patofisiologi saluran kemih, penyakit kelamin, dan ginjal serta kandung kemih yang merupakan kepentingan utamanya di bidang ini. Selain itu al-Razi juga mengembangkan metode untuk diagnosis dan pengobatan batu ginjal untuk pertama kalinya dalam sejarah medis. al-Razi memang tidak satu-satunya dokter Persia pada waktu itu, tetapi selama berabad-abad tulisan-tulisannya menjadi teks ajaran mendasar dalam sekolah kedokteran Eropa. Beberapa aspek penting dari kontribusi al-Razi terhadap kedokteran dan farmasi menjadi acuan. al-Razi menulis lebih dari 224 buku tentang berbagai subjek, tetapi naskah yang paling terkenal adalah ensiklopedia medis, al-Hawi fi al-Tibb, yang dikenal di Eropa sebagai Liber Continens. Buku ini merupakan kompilasi dari perubatan Yunani dan Romawi berdasarkan pengamatan klinis sendiri, studi kasus, dan praktek medis pribadinya. al-Hawi disusun oleh murid-muridnya setelah al-Razi meninggal. al-Hawi diterjemahkan dalam bahasa latin tahun 1279 oleh Faraj Ibnu Salim, seorang sarjana yang bekerja di Pengadilan raja Sisilia. Edisi Latin pertama dari "Continens", diterbitkan di Brescia, Italia, pada tahun 1486, merupakan karya terbesar dan terberat yang diterbitkan sebelum tahun 1501. Buku ini dianggap buku medis yang paling signifikan di abad pertengahan. Ketenaran al-Razi sebagai salah satu dokter muslim terbesar terutama karena catatan kasus dan sejarah yang ditulis dalam buku ini. Beberapa buku lain yang ditulis oleh al-Razi adalah:
1. Kitab al-Mansuri Fi al-Tibb (Liber Medicinalis ad Almansorem) adalah buku singkat dari ilmu  
    kedokteran yang ia tulis untuk penguasa al-Rayy Abu Shalih al-Mansur Ibnu Ishaq, penguasa al-
    Rayy sekitar tahun 903.
2. Kitab Man la Yahduruhu al-Tabib (Book of Who is not Attended by a Physician or A medical
    Advisor for the General Public) didedikasikan untuk orang miskin, musafir, dan warga negara
    biasa yang bisa berkonsultasi atau merujuk untuk pengobatan umum penyakit ketika dokter tidak
    tersedia.
3. Kitab Bur' al-Sā'ah (Cure in an Hour) adalah sebuah esai singkat oleh al-Razi tentang penyakit
    yang ia klaim dapat disembuhkan dalam waktu satu jam. Mereka termasuk sakit kepala, sakit gigi,
    sakit telinga, kolik, gatal, hilangnya rasa di kaki (mati rasa), dan nyeri otot. 4. Kitab al-Tibb ar-
    Ruhani (Book of Spiritual Medicine)
5. Kitab al-Judari wa al-Hasbah (The Book of Smallpox and Measles)
6. Kitab al-Murshid (Panduan) adalah pengenalan singkat prinsip-prinsip kesehatan dasar yang
   dimaksudkan sebagai kuliah untuk mahasiswa.
7. Kitab al-Shakuuk ‘ala Jalinus, (The Doubt on Galen). Dalam buku ini ia mengkritik beberapa teori
    Galen, terutama empat yang terpisah "humor" (zat cair termasuk darah, dahak, empedu kuning dan
    empedu hitam), keseimbangannya dianggap sebagai kunci untuk kesehatan dan suhu tubuh yang
    alami. Setelah melakukan pengamatan klinis sendiri, al-Razi menyatakan bahwa deskripsi Galen
    tidak sesuai dengan hasil pengamatannya.
8. al-Syarh al-Falsafiah (The Philosophical Approach).
9. Kitab Sirr Al-Asrar (Book of Secret of Secrets) deals with alchemy.

C. POLEMIK TERHADAP PANDANGAN AL-RAZI TENTANG KENABIAN

al-Razi lebih masyhur sebagai seorang dokter dibanding sebagai seorang filosof. Sebagai seorang dokter tidak ada yang meragukannya. Bahkan beliau digelari sebagai seorang dokter Islam (tabib al-muslim, Jalinus al-Arab). Namun sebagai seorang filosof, banyak yang meragukan al-Razi bahkan menentang dan memusuhi beliau, waktu masih hidup ataupun setelah beliau meninggal. Salah satu penyebab al-Razi dimusuhi oleh filosof adalah karena dia tidak sesuai dengan paham Aristoteles dan lebih cenderung kepada pemahaman Platonis. Penyebab kedua dia dimusuhi karena dia mengingkari kenabian sehingga para pengkritiknya enggan untuk menyampaikan pendapat al-Razi. al-Razi merupakan salah seorang filosof yang banyak diperbincangkan dalam khazanah pemikiran falsafah Islam. Ramai penulis yang memperdebatkan pemikiran al-Razi terutama berkenaan pemikiraannya tentang kenabian. Abdurrahman Badawi menyatakan al-Razi menentang kenabian, wahyu, kecenderungan irasional. Sebagaimana yang ditulis oleh Sirajuddin Zar, Abddurrahman mengemukakan ringkasan gagasan-gagasan utama berkenaan dengan bantahan al-Razi ke atas nabi: 1. Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Dengan akal semata kita dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Lalu kenapa diperlukan nabi?.
2. Tiada pembenaran bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang sebab semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama; perbezaanya bukanlah kerana pembawaan alamiah, tetapi kerana pengembangan dan pendidikan.
3. Para nabi saling bertentangan. Bila mereka berbicara atas nama satu Tuhan yang sama, mengapa terdapat pertentangan?.

Thawil Akhyar Dasoeki dalam bukunya Sebuah Kompilasi Filsafat Islam menulis bahwa al-Razi adalah seorang yang bertuhan, tetapi ia tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Sementara itu, Hasyimsah Nasution juga menulis hal yang sama tentang al-Razi berkaitan kenabian. Para nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khas, baik pikiran mahupun rohani, kerana semua orang itu adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya. Lebih lanjut dikatakannya, tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus nabi padahal mereka tidak luput dari banyak kekeliruan. Akibatnya terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa kerana kefanatikan kepada agama bangsa yang dipeluknya.

Bahkan Harun Nasution, tokoh yang banyak menjadi rujukan di Indonesia terutama dalam kajian falsafah dan teologi, juga mengatakan hal yang sama. Harun menyimpulkan gagasan-gagasan al-Razi tersebut, yakni: a. Tidak percaya pada wahyu b. Qur’an tidak mu’jizat c. Tidak percaya kepada nabi-nabi d. Adanya Hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan Lain halnya dengan Sirajuddin Zar, dalam bukunya Filsafat Islam menegaskan bahwa itu semua merupakan tuduhan-tuduhan yang berasal dari lawan debatnya, Abu Hatim al-Razi, yang merupakan tokoh Shi’ah Isma’iliyah, kerana itu tuduhan-tuduhan tersebut amat ganjil, bahkan mengandung sentiment. Lebih lanjut Sirajuddin Zar mengemukakan tidak ditemukan dalam bukunya al-Tibb al-Ruhani bahwa al-Razi mengingkari kenabian dan agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya agar mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan mendapat keuntungan berupa ridha Allah. Bahkan menurut Sirajuddin, dalam buku-bukunya al-Razi sering menulis shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan unuk memuliakan nabi, sebab mereka adalah manusia pilihan yang memiliki pribadi mulia. Oleh itu, tidak cukup bukti menurut Sirajuddin untuk membenarkan tuduhan terhadap al-Razi.

Sepanjang pembacaan penulis tentang al-Razi, penulis juga tidak menemukan bahwa al-Razi menentang kenabian. Hal ini sejalan dengan pandangan Sirajuddin Zar. Namun penulis berbeda dengan Sirajuddin Zar, beliau belum menemukan buku A’lam al-Nubuwwah karya Abu Hatim al-Razi, sementara penulis sudah menemukan buku tersebut. Sirajuddin Zar telah mengkonfirmasi kepada guru beliau Harun Nasution yang menyatakan bahwa al-Razi tidak percaya kepada kenabian, agama dan Wahyu dalam bukunya yang berjudul Falsafat dan Misticisme dalam Islam .

Berbeda dengan Sirajuddin Zar, sebagaimana dikemukan di atas, penulis menemukan kitab A’lam an-Nubuwwah yang ditulis oleh Abu Hatim al-Razi yang berisikan perdebatan antara Abu Hatim al-Razi dengan mulhid berkenaan dengan kenabian. Namun, tidak dapat dipastikan apakah mulhid itu adalah Abu Zakaria al-Razi atau bukan. Paul Kraus dalam Islamic Philoshopy mengemukakan bahwa tidak boleh dinisbatkan mulhid itu kepada al-Razi . Karena halaman pertama dari kitab A’lam an-Nubuwwah yang mengemukakan siapa sebenarnya mulhid itu tidak ditemukan lagi pada masa itu. Memang Paul Kraus mengemukakan beberapa pendapat yang menyatakan bahwa telah terjadi perdebatan antara Abu Hatim al-Razi dengan Muhammad ibn Zakaria al-Razi. Seperti Ahmad ibn Abdillah Hamiduddin al-Karamani (abad ke-4) menceritakan dalam kitabnya Aqwal al-Dzahbiyah bahwa Abu Hatim al-Razi dalam kitabnya A’lam an-Nubuwwah menolak pendapat Muhammad ibn Zakaria al-Razi dalam suatu majlis di Rayy. Sedangkan Isma’il ibn Abdi al-Rasul al-Ajini yang dikenal dengan al-Majdu’ (w.1183H) mengemukakan bahwa memang dalam kitab A’lam an-Nubuwwah Abu Hatim al-Razi mengemukakan ada perdebatan antara Abu Hatim al-Razi dengan mulhid. Namun, al-Majdu’ juga mengemukakan hal yang sama dengan Paul Kraus, bahwa tidak ditemukan halaman pertama yang menjelaskan siapa sebenarnya mulhid yang dimaksud oleh Abu Hatim al-Razi. Hal ini lebih menguatkan kesimpulan bahwa tidak cukup bukti Muhammad ibn Zakaria al-Razi menolak kenabian dan agama.

Oleh itu penulis menyimpulkan bahwa tidak mungkin mulhid dituduhkan kepada Muhammad ibn Zakaria al-Razi. Kalaupun mulhid itu dituduhkan ke atas al-Razi, menurut penulis tidaklah tepat, kerana bercanggah dengan apa yang dikemukakan dalam tulisan al-Razi. Memang dalam bukunya al-Tibb al-Ruhani, al-Razi menulis satu Bab khusus yang beliau beri judul dengan Keutamaan dan Kemulian Akal (فضل العقل و مدحه). al-Razi digelari sebagai filosof rasional berdasarkan pembahasan beliau dalam buku ini yang mengutamakan akal. Namun dalam uraiannya tentang keutamaan akal tersebut, al-Razi tidak pernah menolak agama. Beberapa keutamaan akal yang beliau kemukakan adalah: 1. Dengan akal, kita dilebihkan atas hewan yang tidak berakal, agar kita bisa menguasai dan mengurus hewan-hewan tersebut. Selanjutnya al-Razi menyatakan bahwa jika kita berhasil menunddukkan dan menguasai hewan tersebut dengan berbagai macam cara, akan memberikan manfaat bagi kita dan bagi hewan tersebut. 2. Keutamaan akal yang kedua menurut al-Razi adalah dengan akal manusia bisa mencapai segala sesuatu yang akan meninggikan dirinya, membuat manis serta indah kehidupannya. Sebab dengan akal manusia bisa memahami pembuatan dan penggunaan kapal, sehingga dapat sampai ke negeri-negeri terjauh yang dipisahkan oleh samudera dan lautan. Akal juga bisa mengambil manfaat dari ilmu kedokteran dengan berbagai faedahnya untuk tubuh kita. 3. Akal dapat memahami hal yang samar dan kabur, yang rahasia dan tersembunyi dari kita, dengan akal kita mempelajari bentuk bumi dan langit, ukuran matahari, bulan dan bintang-bintang lainnya, jarak dan geraknya; dengannya kita bisa meraih bahkan pengetahuan tentang Tuhan Mahaagung, pencipta kita, yang paling agung dari segala sesuatu yang berusaha kita capai dan juga capaian kita yang paling bermanfaat.

Beberapa keutamaan akal yang dikemukakan al-Razi di atas, tidak sedikitpun membantah wahyu dan kenabian. al-Razi menyatakan bahwa akal merupakan anugerah terbesar Tuhan kepada manusia agar mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya di dunia maupun di akhirat nanti. Tanpa akal manusia bisa seperti binatang buas, anak-anak dan orang gila. Akallah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal kita dapat mengetahui pelbagai hal yang mendatangkan manfaat bagi manusia, baik yang ada di darat, laut maupun udara. Dengan arti kata, manusia tanpa akal tak obahnya seperti binatang. Karena begitu pentingnya akal, maka al-Razi memberikan beberapa peringatan antara lain: 1. Tidak boleh menjatuhkan dari derajatnya yang tinggi atau dengan cara apapun yang merendahkannya 2. Tidak boleh membuatnya diperintah dengan mengingat bahwa dialah yang memerintah atau dikendalikan dengan mengingat bahwa dialah yang berkuasa. Mesti berkonsultasi dengan akal dalam segala hal, menghormatinya dan senantiasa bersandar kepadanya. Mengelola urusan-urusan sebagaima yang diperintahkannya serta menghentikannya manakala akal memerintahkan demikian. 3. Jangan biarkan nafsu menguasainya, sebab nafsu adalah cacat akal, yang akan menyelimutinya dan menyimpangkannya dari jalan yang lurus dan tujuannya yang benar. Nafsu akan akan mencegah orang yang berakal menemukan petunjuk haikiki dan keselamatan sejati. Lebih lanjut al-Razi menyatakan bahwa kita mesti mendisiplinkan dan menundukkan nafsu kita, mengiring dan memaksanya untuk mematuhi setiap kata akal. Jika hal tesebut dilakukakan menurut al-Razi maka akal akan benar-benar jernih dan menerangi manusia dengan seluruh cahanya, mengantarkan manusia meraih yang ingin dicapai, dan kita berada dalam anugerah dan berkah Tuhan. Setelah membahas tentang keutamaan akal dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani, al-Razi pada bab selanjutnya membahas tentang nafsu yang beliau beri judul dengan mengekang dan mengendalikan nafsu. Bab akal dan nafsu ini menjadi inti pembahasan buku beliau al-Thibb al-Ruhani.

D. KESIMPULAN
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi adalah seorang pakar perubatan, falsafah, dan ilmuan Parsi yang memberikan sumbangan asas dalam bidang perubatan, Alkhemi (Alchemy), dan falsafah, yang ditulis dalam lebih 224 buah buku dalam pelbagai bidang sains. Dia tidak diragukan lagi merupakan salah seorang ilmuan dalam Dunia Islam, dan mempunyai pengaruh yang besar kepada sains dan perubatan Eropah. al-Razi merupakan seorang tokoh falsafah Islam yang banyak menimbulkan kontroversi dalam bidang ilmu falsafah. Sikap dan pemikirannya dikatakan cenderung kepada pemikiran dan teori ahli falsafah Yunani kuno seperti Plato. Oleh sebab itu, ramai dalam kalangan ahli falsafah muslim yang mengecamnya, mereka tidak setuju dengan sebahagian pendapatnya yang pro-platonisme. Beliau juga dituduh sebagai seorang filosof yang mengingkari kenabian (Mulhid). Tetapi dalam kajian di atas telah dibuktikan bahwa hal tersebut hanya merupakan tuduhan yang tidak mempunyai alasan yang kuat.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
 al-Ahwani, Ahmad Fuad, 1997, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet ke-8. 
al-Razi, 1978, al-Tibb Ruhani, Tahqiq oleh Dr. Abdul Latif al-Abdi, Mesir: Maktabah Nahdah
al-Razi, 2002, The Spritual Physic od Rhazes (al-Thibb al-Ruhani), Terj. M.S. Nasrullah dan Dedi  
          Mohammad Hilman, Jakarta: Penerbit Hikmah.
Dasoeki, Thawil Akhyar, 1993, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang: Dimas
Mohamad M. Zarshenas, dkk. Rhazes (865–925 AD), J Neurol (2012) 259:1001–1002
Nasution, Harun, 1993, Filsafat dan Misticisme dalam Islam, Jakarta: UI Press.
Nasution, Hasyimsyah, 1999, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Paul Kraus, 1999, Falsafah Islamiyah: Rasail Falsafiyah, Frankfrut: Ma’had Tarikh al-Ulum al-
         Arabiyah wa al-Islamiyah
al-Qifti, Tarikh al-Hukama’, Baghdad: Maktaba’ al-Musna, t.t,
Saeed Changizi Ashtiyani dan Ali Cyrus, Rhazes, a Genius Physician in Diagnosis and Treatment of
        Kidney Calculi in Medical History, Iranian Journal of Kidney Diseases, 2010; 4 (2), Hlm 106-
        110.
Samir S. Amr dan Abdulghani Tbakhi, Abu Bakr Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (Rhazes):
         Philosopher, Physician and Alchemist, Ann Saudi Med, 2007; 27(4): 305-307 Seyed Mahmood Tabatabaei dkk, Razi’s Description and Treatment of Facial Paralysis, Archives of Iranian Medicine,
         2011; 14(1), 73-75 Souayah N, Greenstein GI Insights Into Neurologic Localization by Rhazes,
         a Medieval Islamic physician. Neurology,2005 65:125–128
Zar, Sirajuddin, 2012, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafiindo Persada cet ke-5
 http://diktis.kemenag.go.id/index.php?berita=detil&jd=400

No comments: