Thursday, September 8, 2016

Vindikasi terhadap Ilmu Kalam (disunting dari buku Ilmu Kalam Paucis Verbis karya Prof Madya, Dr. Ibrahim Abu Bakar)

Vindikasi terhadap Ilmu Kalam (disunting dari buku Ilmu Kalam Paucis Verbis karya Prof Madya, Dr. Ibrahim Abu Bakar)

4 Mei 2013 pukul 17:09
Walaupun bantahan yang serius dan kerasdikemukakan terhadap Ilmu Kalam oleh tiga Imam mazhab Fikih aliran Sunni (AhliSunah Waljamaah) tetapi ada ulama Islam yang tidak bersetuju dengan hukum yangmengharamkan Ilmu Kalam. Ahli Fikih Sunni yang tidak sependapat dengan tigaImam mazhab Fikih itu ialah Abu Hanifah yang mengasaskan mazhab Fikih Hanafi.Ulama Kalam sendiri sudah tentu tidak menerima hukum haram melibatkan diridalam Ilmu Kalam yang difatwakan oleh para penentang Ilmu Kalam. Ulama Kalamtidak menerima sebagai benar dan betul hukum mengharamkan Ilmu Kalam. Faktasejarah menunjukkan bahwa Ulama Kalam yang hidup semasa dan selepas tiga Imampengasas mazhab Fikih aliran Sunni itu meneruskan kegiatan dan penglibatanmereka dalam Ilmu Kalam.
Bab ini mengemukakan vindikasi (vindication) terhadap Ilmu Kalam.Perkataan Inggeris ‘vindication’bermakna perihal atau usaha mempertahankan atau membuktikan kebenaran ataupengesahan. Kata kerja ‘vindicate’bermakna membuktikan, membenarkan atau mengesahkan. Perkataan vindikasimempunyai makna yang hampir sama dengan perkataan justifikasi (justification). Kata kerja ‘justify’ bermakna mempertahankan,membela atau membenarkan. Dalam konteks ini perkataan vindikasi dipilih untukmenunjukkan bahwa ada usaha bertujuan membuktikan, membenarkan dan mengesahkanbahwa Ilmu Kalam itu tidak haram,Ilmu Kalam dan Mutakallimun itu tidakbid’ah dan tidak sesat walaupunpara penentang menghukumkan haram, bid’ah dan sesat kepada Ilmu Kalam.Vindikasi terhadap Ilmu Kalam dijalankan dengan tujuan melegitimasi Ilmu Kalamsebagai ilmu yang baik, berfaedah dan satu daripada Ilmu-ilmu Syariah. Dengankata lain, vindikasi terhadap Ilmu Kalam bertujuan melegitimasikan Ilmu Kalamsebagai satu daripada Ilmu-ilmu Islam. Dengan kelegitimasian Ilmu Kalam sebagaisatu daripada Ilmu-ilmu Islam, maka para pendukung, advokat (advocates) atau eksponen (exponents) Ilmu Kalam berharap tertolakdan tersangkallah pandangan dan pendapat yang mengatakan Ilmu Kalam itu haram,bid’ah dan sesat.
Abu Hasan al-Ash’ari (M.324H./935M.), tokohulama atau imam yang dinisbahkan al-Ash’ariyyah dan al-Asha’irah kepadanya,tidak dapat menerima hukum haram kepada Ilmu Kalam dan hukum bid’ah dan sesatyang dinisbahkan kepada Ilmu Kalam. Beliau menyadari hukum-hukum seperti haram,bid’ah dan sesat itu telah difatwakan oleh tokoh-tokoh ulama dalam bidang Fikihdan Hadis. Walaupun demikian serius dan keras hukum yang mereka berikan kepadaIlmu Kalam dan Mutakallimin tetapi al-Ash’ari tetap menghujahkan vindikasinyaterhadap Ilmu Kalam dan Mutakallimin.
al-Ash’ari menulis sebuah buku khususbernama Risalah fi istihsan al-khawd fi‘ilm al-kalam(A vindication of theScience of Kalam) untuk membela kelegitimasian Ilmu Kalam sebagai satudaripada ilmu-ilmu Islam. Buku itu juga menjawab dan menolak pandangan danpegangan negatif Ulama Fikih dan Ulama Hadis terhadap Ilmu Kalam dan UlamaKalam.
al-Ash’ari menyatakan bahwa: “Sesungguhnyasekumpulan manusia menjadikan kejahilan modal mereka dan mereka merasa bebanberat untuk menggunakan al-nazar dan al-bathterhadap perkara agama, danmereka cenderung kepada keringanan dan taklid. Mereka mengkritik orang yangmenggunakan akal dalam perkara Usuluddin dan menisbahkan sesat kepada orangitu. Mereka menyangka bahwa perbinvangan Ilmu Kalam mengenai gerak, diam, jism,‘arad, warna, akwan, juzuk, tifrahdan sifat-sifat Allah adalah bid’ah dan sesat” (al-Ash’ari 1344H., 87-88).
Rishard J. McCarthy meneterjemahkankenyataan al-Ash’ari itu begini:
Acertain group of men have made ignorance their capital. Finding reasoning andinquiry into religious belief too burdensome, they incline towards the easy wayof servile secretarianism. They calumniate him who scrutinizes the basic dogmasof religion and accuse him of deviation. It is innovation and deviation, theyclaim, to engage in kalam about motion and rest, body and accident, accidentalmodes and states, the atom and the leap, and attributes of the Creator.(McCarthy 1953, 120)

al-Ash’ari memang menyadari wujudnyatantangan-tantangan dan alasan-alasan yang digunakan oleh Ulama Hadis dan UlamaFikih untuk menentang Ilmu Kalam dan Mutakallimun. Beliau memberikanjawaban-jawaban dan alasan-alasan atau hujahan-hujahan untuk menegakkankelegitimasian Ilmu Kalam. Hujahan-hujahan penentang Ilmu Kalam yang menarikperhatian al-Ash’ari adalah seperti berikut:
JikaIlmu Kalam ini termasuk dalam hidayat dan petunjuk niscaya Nabi s.a.w. danKhalifah-khalifah dan Sahabat-sahabatnya memperkatakan tentang Ilmu Kalamkarena Nabi s.a.w. tidak mati melainkan sesudah Baginda menjelaskan denganjelas, terang dan mencukupi apa yang diperlukan daripada perkara-perkara agama.Nabi s.a.w. menjelaskan kepada Muslim apa yang mereka perlukan dalam urusanagama dan apa yang mendekatkan mereka kepada Allah dan menjauhkan merekadaripada kemurkaan Allah. Ilmu Kalam adalah Ilmu bid’ah dan kajiannya adalahsesat karena kalaulah ia satu kebaikan niscaya Nabi s.a.w. danSahabat-sahabatnya memperkatakan tentang Ilmu Kalam.
Adadua kemungkinan kenapa Nabi s.a.w. dan Sahabat-sahabtnya tidak memperkatakantentang Ilmu Kalam yaitu kemungkinan mereka tahu dan kemungkinan mereka jahilmengenainya. Kalau mereka itu mengetahui tentang Ilmu Kalam dan mendiamkan dirimereka seyogyanya kita juga mendiamkan diri sama seperti mereka mendiamkandiri; seyogyanya kita tidak melibatkan diri dalam Ilmu Kalam sama sepertimereka tidak melibatkan diri dalamnya karena kalau Ilmu Kalam itu adalahdaripada agama niscaya mereka tidak mendiamkan diri mengenainya.
Kalaumereka (Nabi dan Sahabat-sahabatnya) tidak tahu mengenai Ilmu Kalam, seyogyanyakita juga tidak mengetahuinya sama seperti mereka tidak mengetahuinya karenakalau sekiranya Ilmu Kalam adalah daripada agama niscaya mereka tidak jahilmengenainya. (al-Ash’ari 1344H., 88).

Setelah mengemukakan alasan-alasan merekayang menentang Ilmu Kalam dan Mutakallimun, al-Asy’ari memberikanjawaban-jawabannya yang membela dan mengesahkan kelegitimasian Ilmu Kalamsebagai satu daripada ilmu-ilmu Islam yang bersumberkan al-Quran dan Hadis.Beliau memberikan jawaban-jawaban dan contoh-contoh dalam tiga perkara.
Pertama, al-Asy’ari membalikkan persoalanmengenai bid’ah kepada penentang Ilmu Kalam. Penentangnya menganggap Ilmu Kalamadalah bid’ah karena Nabi s.a.w. tidak menyatakan mengenai Ilmu Kalam.Persoalan yang dibalikkan oleh al-Asy’ari kepada penentang Ilmu Kalam ialah:“Apakah Nabi s.a.w. menyatakan bahwa sesiapa yang membahaskan tentang itu (IlmuKalam) dan memperkatakannya menjadi bid’ah sesat? Lazimlah kamu (penentang IlmuKalam) menjadi bid’ah sesat karena kamu memperkatakan sesuatu yang tidakdiperkatakan oleh Nabi s.a.w. dan kamu menghukumkan sesat orang yang tidakdihukumkan sesat oleh Nabi s.a.w.” (al-Ash’ari 1344H., 88).
Aspek yang menarik di sini ialahpersoalan-persoalan mengenai defenisi bid’ah dan sesat. Apakah memperkatakansesuatu yang tidak diperkatakan oleh Nabi s.a.w. itu adalah bid’ah dan sesat?Kalau itulah asas kepada kebid’ahan dan kesesatan, maka al-Asy’ari berpendapatbahwa penentang-penentang Ilmu Kalam adalah bid’ah dan sesat karena merekamnghukumkan bid’ah dan sesat kepada Ilmu Kalam dan Mutakallimun, sedangkan Nabis.a.w. tidak mengeluarkan hukuman sedemikian kepada Ilmu Kalam danMutakallimun.
Kedua, al-Asy’ari menegaskan bahwa Nabis.a.w. dan para Sahabatnya mengetahui tentang prinsip-prinsip Ilmu Kalam karenaia terdapat dalam al-Quran dan Hadis. Al-Asy’ari menyatakan:
 Nabi s.a.w. tidak jahil tentang apa yang kamu(penentang Ilmu Kalam) sebutkannya daripada Ilmu Kalam seperti jism, ‘arad,gerak, diam, juzuk dan tifrah sekalipun Baginda tdak memperkatakannya satupersatu secara khusus. Demikian juga Fuqaha dan Ulama daripada kalangan paraSahabat tahu mengenainya. Semua perkara yang kamu (penentang Ilmu Kalam)sebutkan itu ada usul-usulnya dalam al-Quran dan Sunnah dalam jumlah yang tidakdiperincikan (al-Asy’ari 1344H., 89)

al-Asy’ari memberikan contoh-contohdaripada al-Quran untuk membuktikan bahwa dasar dan prinsip-prinsip Ilmu Kalamterdapat dalam al-Quran.
Mengenai prinsip-prinsip gerak dan diam (al-harakah wa al-sukun) jisim danagregasi dan segregasi (al-ijtima’ waal-iftiraq) jisim yang yang dibincangkan oleh Ulama Kalam, al-Asy’arimerujukkan prinsip-prinsip itu kepada cerita al-Quran mengenai Nabi Ibrahim(a.a.) mencari Allah dengan memperhatikan kepada pergerakan bintang, bulan danmatahari. Baginda sampai kepada kesimpulan bahwa yang bergerak dan menghilangyaitu bintang, bulan dan matahari adalah bukan Allah (al-Asy’ari 1344H.,89).Al-Quran menceritakan Nabi Ibrahim a.s, mencari Allah dengan memperhatikankepada pergerakan bintang, bulan dan matahari dalam Surah al-An’am 6:75-78.Terjemahan kepada al-Quran (6:75-78), Demikianlah Kami memperlihatan kepadaIbrahim kerajaan langit dan bumi supaya dia termasuk orang yang yakin. Tatkalamalam telah gelap, dia (Ibrahim) milihat bintang, lalu dia berkata: InikahTuhanku? Tatkala bintang itu terbenam, dia berkata: Aku tiada mengasihi barangyang lenyap itu. Tatkala dia melihat bulan telah terbit, dia berkata: InikahTuhanku? Tatkala bulan itu terbenam, dia berkata: Jika aku tiada ditunjuki olehTuhanku niscaya aku termasuk kaum yang sesat. Tatkala dia melihat mataharitelah terbit, dia berkata: Inikah Tuhanku? Ini lebih besar. Tatkala matahariitu terbenam, dia berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri daripadaapa yang kamu persekutukan itu.
Mengenai prinsip tamanuk dan  taghalub (al-tamanu’ wa al-taghalub) yang digunakan oleh Ulama Kalam untukmenghujahkan keesaan atau ketauhidan Allah, al-Asy’ari merujukkan prinsip itukepada ayat-ayat al-Quran seperti Surah al-Anbiya 21:22, Surah Mukminun 23:91,Surah al-Ra’d 13:16 (al-Ash’ari 1344H.,89).
Dalil-dalil daripada al-Quran yang dirujukoleh al-Ash’ari untuk membuktikan prinsiptamanukdan taghalub (saling menghalangdan saling menguasai/mengatasi) ada dalam al-Quran, yakni: pertama, Surahal-Anbiya 21:22, terjemahannya, Kalau sekiranya ada beberapa Tuhan di langitdan di bumi selain Allah niscaya binasalah kedua-duanya. Kedua, Surah Mukminun23:91, terjemahannya, Allah tiada mempunyai anak dan tiada Tuhan yang setandingdengan-Nya. Kalau ada Tuhan yang setanding dengan-Nya niscaya masing-masingTuhan berpisah bersama makhluk yang dijadikan-Nya dan sudah tentu setengahmereka mengalahkan setengah yang lain. Ketiga, Surah al-Ra’d 13:16,Terjemahannya, bahkan adakah mereka mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu yangmenjadikan seperti Allah menjadikan, lalu serupa makhluk atas mereka? Selepasmenulis nash-nash al-Quran itu, al-Asy’ari menegaskan: bahwa Kalam Mutakallimindalam penghujahan mengenai tauhid Allah merujuk kepada ayat-ayat al-Quran yangkami sebutkan dan demikian juga semua Kalam dalam perincian kepadacabang-cabang tauhid dan keadilan Allah diambil daripada al-Quran (al-Ash’ari1344H.,89).
Mengenai prinsip Mutakallimun merujukkansesuatu kepada yang serupa dan setanding (raddal-shay’ ila shaklih wanazirih), al-Asy’ari merujukkan kepada Hadis Nabis.a.w. mengenai seorang lelaki Arab yang meragui keshahihan anaknya yangdilahirkan oleh isterinya karena kelainan warna kulit anak itu. Anak lelaki ituberkulit hitam. Nabi s.a.w. meminta orang Arab itu memperhatikan kepada untadan anak-anaknya di mana kadangkala ibu unta melahirkan anak yang tidak samawarna kulit dengan bapak unta yang ditemaninya. Dengan memperhatikan unta dananak-anaknya, lelaki Arab itu akur kepada kebenaran kata-kata Nabi Muhammads.a.w. di mana unta kadangkala melahirkan anak yang berlainan warna kulit daribapak unta berkenaan. (al-Asy’ari 1344H., 92). Dalam peristiwa ini manusiadibandingkan dengan unta dari segi persamaan dan perbandingan aspek yang samayaitu anak manusia boleh atau berkemungkinan berlainan warna kulit daripadabapaknya sama sepertimana anak unta boleh atau berkemungkinan berlainan warnakulit daripada warna kulit unta jantan yang menjadi bapak kepada anak untaberkenaan. Jadi, prinsip membanding aspek yang sama diambil oleh Mutakallimununtuk digunakan dalam perdebatan bagi menyelesaikan sesuatu yang diragui ataudipertikaikan.
al-Asy’ari meneruskan hujahnya denganmengatakan bahwa berkalam mengenai kemungkinan dan kemustahilan kebangkitansemula (al-ba’th) pada pandanganpemikir-pemikir Arab (‘uqala’ al-‘arab)dan orang yang sebelum mereka dan orang yang lain daripada mereka yang menolakkonsep kebangkitan semula dan berasa heran dengan kemungkinan kebangkitansemula memang ada dinyatakan dalam al-Quran. Antara keterangan al-Quran yang menyatakan keheranan terhadapkebangkitan, dan memustahilkan kebangkitan ialah: (a) Surah Qaaf 50:3, terjemahnya,Adakah, bila kami sudah mati dan telah menjadi tanah, adakah akan hidupkembali? Sungguh demikian itu amat jauh sekali. (b) Surah al-Mu’minum 23:35-36, terjemahnya, adakah Allah menjanjikan kepadamu bahwa bila kamu mati danmenjadi tanah dan tulang, kemudian kamu akan dikeluarkan? Amat jauh, amat jauhapa yang dijanjikan padamu. (c) Surah Yaasin 36:78, terjemahnya: Dia berkata:siapakah yang boleh menghidupkan tulang-tulang yang telah rusak binasa? Itulah contohbeberapa hujah atau alasan yang dikemukakan oleh para penyangkal kebangkitansemula manusia yang telah mati, dan al-Quran menjawab hujah-hujah mereka itudan menetapkan kemungkinan kebangkitan semula dalam akal manusia dan Allahmengajarkan dan memberikan kepada Nabi-Nya hujah-hujah para pengingkarkebangkitan semula dan jawaban-jawaban kepada hujah-hujah mereka itu. Parapengingkar kebangkitan semula terdiri daripada dua kelompok. Satu kelompok yangmengakui ciptaan pertama tetapi menafikan ciptaan kedua, dan satu kelompok lagimengingkari ciptaan pertama dan kedua karena mereka berpegang kepada keqadimanalam (al-Asy’ari 1344H.,90).
Kepada kelompok manusia yang mengakuiciptaan pertama tetapi mengingkari ciptaan kali kedua, maka al-Quran memberikanpenjelasan kepada kelompok ini dalam beberapa Surah: (a) Surah Yaasin 36: 79, terjemahannya:Katakanlah: Yang akan menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan dia padapertama kali; (b) Surah al-Rum 30: 27, terjemahannya: Dia yang memulakanciptaan makhluk kemudian Dia mengulanginya, dan mengulangi itu lebih mudahbagi-Nya; dan (c) Surah al-A’raf 7:29, terjemahannya: Sebagaimana Allah telahmemulakan ciptaanmu begitu pula kamu kembali kepada-Nya. Ayat-ayat al-Quran itumengingkari atau menyangkal pengingkar ciptaan Allah kali kedua dan menetapkanbahwa Allah yang mencipta manusia pertama kali tanpa contoh maka Dia jugaberkuasa mencipta manusia kali kedua selepas manusia mati dan selepas jasad dantulang mereka reput, pupus dan lupus. (al-Ash’ari 1344H., 90).
Kelompok manusia yang menafikan ciptaanpertama dan kedua berfahaman bahwa alam ini qadim, tiada penciptanya. Merekaini diresapi keraguan (shubhah)karena mereka berkata bahwa mereka dapati hidup adalah lembab dan panas danmati adalah sejuk dan kering yaitu tabiat tanah, maka mereka mempersoalkankemungkinan dihimpunkan hidup, tanah, tulang yang reput sehingga menjadimakhluk sempurna sedangkan ‘dua yang bertentangan tidak akan berhimpun’ (al-diddani la yajtami’an). Maka merekamengingkari kebangkitan semula dari sudut ini. Sesungguhnya prinsip ‘dua yangbertentangan tidak akan berhimpun’ pada satu tempat, pada satu sudut dan padasatu maujud di lokasi tertentu tetapi kemungkinan kedua-dua yang bertentanganini wujud pada dua tempat secara berdekatan atau berjiran. Maka Allahmenghujahkan dalam al-Quran (36:80) kepada mereka yang mengingkari kebangkitansemula beralasankan prinsip ‘dua yang bertentangan tidak akan berhimpun. Hujahdalam al-Quran (Surah Yaasin 36:80), terjemahannya: Yang mengadakan untukmu apidaripada pohon kayu yang hijau (basah), tiba-tiba kamu menyalakan api dengandia. Allah menyangkal fahaman pengingkar kebangkitan dengan apa yang merekasaksikan dan ketahui yaitu keluar api yang bersifat panas dan kering daripadakayu yang hijau bersifat lembab dan sejuk. Maka kemungkinan ciptaan pertamamenunjukkan kemungkinaan ciptaan kedua karena dalil atau bukti menunjukkankemungkinan keberdekatan atau keberjiranan hidup, tanah, tulang reput dandijadikan daripada semuanya makhluk, dan Allah memberitahu (Surah al-Anbiya 21:104), terjemahannya: sebagaimana Kami mulai permulaan makhluk, begitu pula Kamimengulanginya (al-Asy’ari 1344H., 91).
Didapati al-Asy’ari merujuk kepada al-Quran(36: 80) dan al-Quran (21: 104) untuk membatalkan hujah para pengingkarkebangkitan semula makhluk manusia pada hari kebangkitan di akhirat. Ayat-ayatal-Quran yang dirujuk oleh al-Asy’ari itu difahami dapat menyangkal prinsipyang menyatakan dua yang bertentangan tidak dapat bertemu atau berhimpun.Memang prinsip itu benar pada satu masa dan situasi tertentu tetapi prinsip itutidak dapat digunakan untuk menyangkal kepercayaan kepada kebangkitan semula. al-Quranmembatalkan prinsip dua yang bertentangan tidak bertemu dengan menyatakan apimenyala di kayu yang hijau. Kayu yang hijau menunjukkan kayu itu belum keringatau masih basah karena ada mengandungi air. Sepatutnya kalau mengikut hukumyang menyatakan dua yang bertentangan tidak dapat bertemu atau berhimpun, apitidak menyala pada kayu yang masih hijau karena kayu itu masih basah atau belumkering. Kering dan basah dua yang bertentangan dan kedua-duanya dapat bertemusecara berjiranan atau berdekatan. Tragedi kebakaran hutan (forest fire) di Amerika Syarikat dan diAustralia pada tahun 2000, sebagai contoh, menunjukkan api yang bersifat panasdan kering dapat bertemu dengan batang-batang kayu yang hidup bersifat sejukdan basah karena dalam daun dan batang kayu yang hidup itu ada unsur air.
Mutakallimun menyatakan bahwa setiapperistiwa (kejadian) ada permulaannya dan mereka sebenarnya menyangkal fahamanDahriyyah yang menyatakan bahwa tiada satu gerak (harakah, motion) melainkan sebelumnya ada satu gerak dan tiada satuhari melainkan sebelumnya ada satu hari, dan Mutakallimun berkalam dengan orangyang menyatakan setiap bahagian ada separuhnya sehingga infinit. SesungguhnyaMutakallimun dapati bahwa yang menolak fahaman Dahriyyah ini ada dalam SunahRasulullah s.a.w. ketika baginda bersabda: “la‘adwa wala tiyarah” (tiada jangkitan dan tiada alamat buruk), maka Arabbadwi berkata: Maka apa yang menimpa unta-unta betina seolah-olah sama dengan rusa-rusabetina yang memasuki untuk berpenyakit kulit maka ia berpenyakit kulit. MakaNabi s.a.w. berkata: Siapakah yang menjangkitkan penyakit yang pertama? MakaArab badwi diam karena dia difahamkan dengan hujah yang dapat diterima akal.Demikian jugalah Mutakallimun berkata kepada orang yang menyangka tiada gerakmelainkan sebelumnya ada gerak dan sekiranya demikian, tidak satu peristiwa(kejadian) daripadanya karena sesuatu yang tiada had atau akhiran (infinit)tiada peristiwa (kejadian) baginya (mala nihayatlah la hadath lah) (al-Asy’ari 1344H., 91-92).
Dalam menolak fahaman Dahriyyah yangberfahaman alam qadim, Mutakallimun merujuk kepada Hadis Rasulullah s.a.w. yangmenyatakan bahwa tiada jangkitan penyakit dan tiada alamat buruk. DaripadaHadis itu dijadikan prinsip bahwa Allah adalah pencipta penyakit dan penentusama ada sesuatu itu buruk atau baik. Manusia tidak boleh berfahaman Dahriyyahyang menolak kewujudan Allah sebagai pencipta penyakit, pencipta peristiwa ataukejadian baik dan buruk dan lainnya. Dalam kasus penyakit berjangkit, memangpenyakit berjangkit dapat berjangkit karena Allah menjadikan penyakit itu dapatberjangkit melalui pembawa penyakit berkenaan. Allah yang menjadikan sesuatupenyakit itu berjangkit, bukan binatang atau manusia yang menjadikan penyakitberjangkit itu berjangkit. Manusia atau binatang hanya dapat menjadi pembawa (carriers) penyakit berjangkit tetapimanusia dan binatang itu bukan pencipta penyakit berjangkit berkenaan.Mutakallimun juga menolak fahaman manusia yang menyatakan alam ini infinit,tiada had dan akhiran. Mutakallimun menggunakan prinsip gerak dan diam untukmenyangkal alam ini infinit.
Mengenai prinsip yang digunakan olehMutakallimun untuk mengalahkan lawan dalam perdebatan dengan menggunakan premisyang dikemukakan oleh lawan atau penentang, al-Asy’ari menyatakan prinsip itutelah diajarkan oleh Nabi s.a.w. melalui Hadisnya mengenai seorang rabai Yahudiyang gemuk. Nabi s.a.w. menanayakan kepada rabai itu, apakah dia mendapatidalam Taurat bahwa Allah membenci rabai yang gemuk? Rabai itu marah dengansoalan itu dan menjawab bahwa Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia.Maka Nabi s.a.w. mengalahkan rabai itu dengan menyoalnya lagi: Apakah Tauratitu bukan sesuatu yang diturunkan oleh Allah? Apakah Musa yang menerima Tauratitu bukan seorang manusia? Rabai tersebut menjawab positif kepada soalan-soalanitu (al-Ash’ari 1344H., 93).
Pada fahaman al-Asy’ari, soalan-soalan yangkemudian dikemukakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. kepada rabai itu didasarkankepada jawaban rabai itu bahwa Allah tidak menurunkan apa-apa kepada manusia.Jawaban itu memerangkap rabai itu sendiri karena dia sendiri mempunyai Tauratyang dipercayai diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa a.s. Rabai gemukmelakukan kesilapan atau kesalahan dalam menjawab pertanyaan Rasul yang pertama,karena rabai itu menjawab bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu kepada manusiauntuk menjawab pertanyaan, apakah terdapat dalam Taurat pernyataan yangmembenci rabai yang gemuk? Rabai itu memang seorang yang gemuk tetapi nampaknyadia tidak menyukai atau mau mengakui yang dia memang gemuk. Apabila ditanyamengenai persoalan rabai gemuk dalam Taurat, rabai itu memberikan jawaban yangsalah atau silap. Daripada kesilapan jawaban pertama rabai gemuk itu, maka NabiMuhammad s.a.w. terus mengemukakan soalan-soalan atau pertanyaan-pertanyaanyang dapat mengalahkan rabai itu dalam perdebatan berkenaan.
al-Asy’ari menyatakan bahwa prinsip yangdigunakan oleh Mutakallimun dalam membuat pembetulan terhadap kesilapan musuh (mughalatah al-khusum) terdapat dalamal-Quran (Surah al-Anbiya 21: 98-100), terjemahannya: Sesungguhnya kamu dan apayang kamu sembah, selain Allah menjadi kayu api neraka jahannam. Kamu mestimasuk ke dalamnya. Mereka menjerit di dalamnya, sedangkan mereka dalamnya tidakmendengar. Setelah al-Quran (21: 98-100) diturunkan, maka beritanya sampaikepada Abdullah bin al-Ziba’ra; seorang ahli debat musuh yang hebat (wakana jadala khasma), dan dia bertekaduntuk mengalahkan Nabi Muhammad s.a.w. dalam perdebatan tentang ayat-ayatal-Quran (21: 98-100). Dia pergi menemui Rasulullah s.a.w. dan berkata: WahaiMuhammad! Tidakkah kamu menyangka bahwa Isa, ‘Uzayr dan Malaikat disembah? Ibnal-Ziba’ra mengharapkan fallasi (mughalatah)daripada Nabi Muhammad s.a.w. supaya dia dapat memberitahu kaumnya yang dia mengalahkanNabi Muhammad s.a.w. dalam perdebatan itu. Maka Allah turunkan Surah al-Anbiya21: 101, terjemahannya: Sesungguhnya mereka yang telah memperoleh kebaikandaripada Kami, mereka terhindar daripada neraka. Nabi Muhammad s.a.w. membacaayat al-Quran (21:101) itu dan mereka (Ibn al-Ziba’ra dan para pendukungnya)membuat bising supaya tidak jelas kekalahan dan fallasi mereka dan merekaberkata: Adakah tuhan-tuhan kami lebih baik atau dia (Isa) yang lebih baik?Maka Allah turunkan ayat-ayat al-Quran dalam Surah al-Zukhruf (43:57-58),terjemahannya: dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tibakaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: “Manakah yang lebihbaik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itukepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaumyang suka bertengkar. (al-Ash’ari 1344H., 93-94). Al-Ash’ari menyatakan bahwasetiap yang disebut dalam al-Quran dan Sunnah menjadi prinsip dan hujah kepada Mutakallimundalam Kalam mereka karena apa yang berlaku ketentuannya daripadamasalah-masalah akliah (al-masa’tilal-aqliyyah) pada zaman Nabi Muhammad s.a.w. dan para Sahabatnya, makamereka (Nabi dan para Sahabat) telah berkalam padanya (qad takallama fih) secara yang disebutkan (al-Ash’ari 1344H., 94).
Perkataan Arab mughalatah diberi makna fallacy(fallasi) dalam kamus Arab-Inggeris. Perkataan Inggeris fallacy berkmakna kepercayaan yang palsu atau silap, ‘a false or mistaken belief’, dan juga bermakna kesilapan atau kesalahanpemikiran atau penghujahan, ‘falsereasoning’ (Lihat, Oxford AmericanDictionary, 1980). Irving M. Copi mendefinisikan fallasi sebagai satu jenisatau bentuk penghujahan yang silap atau salah, ‘a fallacy…is a type of incorrect argument’ (Copi 1982, 97). Beliaumembagikan fallasi dalam penghujahan atau argument kepada tiga belas jenis yangterdiri daripada: 1. Argumentum adBaculum (appeal to force). 2. Argumentumad hominen (abusive). 3. Argumentumad Hominem (circumstantial). 4. Argumentumad Ignorantiam (argument from ignorance). 5. Argumentum ad Misericordiam (appeal to pity). 6. Argumentum ad Populum. 7. Argumentum ad Verecundiam (appeal toauthority). 8. Accident. 9. Converse Accident (hasty generalization).10. False Cause. 11. Petitio Principii (begging the question) 12.Complex Question. 13. Ignoratio Elenchi (Irrelevant conclusion). (Copi1982, 99-110). Bahasa Latin digunakan oleh Copi untuk kebanyakan istilahfallasi yang beliau sebutkan. Melihat kepada jenis-jenis fallasi yangdisebutkan oleh Copi, maka fallasi yang dilakukan oleh Abdullah bin al-Ziba’radalam perdebatan dengan Nabi Muhammad s.a.w. dapat dikategorikan dalam fallasikeempat yaitu penghujahan daripada kejahilan dan fallasi kesembilan yaitugeneralisasi yang tidak cermat, gopoh dan tergesa-gesa.
Demikian juga Mutakallimun berhujah denganorang yang menyatakan Allah menyerupai makhluk-makhluk (al-makhluqat) dan Allah mempunyai jasmani. Mutakallimun memberihujah bahwa kalau Allah menyerupai sesuatu daripada makhluk niscaya Allah samaada menyerupai sepenuhnya atau sebahagiannya. Jika Allah menyerupai makhluksepenuhnya, maka wajiblah Allah itu makhluk sepenuhnya. Jika Allah menyerupaimakhluk pada bahagian tertentu, maka bahagian tertentu itu makhluk karena duayang serupa itu hukumnya satu kepada apa yang diserupainya. Maka mustahil Allahitu makhluk dan qadim dan mustahil Allah itu qadim dan makhluk. Allahmenyatakan tentang diri-Nya dalam al-Quran, Surah al-Syuara 42: 11, terjemahannya:Tiada suatu pun yang menyerupai-Nya, dan Surah al-Ikhlas 112:4, terjemahannya:Dan tidak ada satupun yang menyerupai-Nya (al-Ash’ari 1344H., 92).
Adapun prinsip bahwa jism (jasmani) adalahinfinit atau terhad, terbatas, berakhiran (annaliljism nihayah), dan prinsip bahwa juzuk tidak dapat dibahagikan (anna al-juz’a la yangqasim), maka Allahmemberitahunya dalam al-Quran, Surah Yasin 36: 12, bermaksud: tiap-tiap sesuatuKami perhitungkan dalam kitab yang terang. Mutakallimun menyatakan mustahil menghitungsesuatu yang infinit, dan mustahil sesuatu yang satu (al-shay al-wahid) dibahagikan karena ini mewajibkan ia menjadi duaperkara (shay’ayni) dan bilanganberkau kepada kedua-duanya (al-Ash’ari 1344H., 92-93). Maksudnya, kalau perkarayang satu dapat dibahagikan dua, maka ia menjadi dua perkara. Bukan satuperkara lagi.
Prinsip bahwa pencipta wajib melakukankehendak-Nya dan pilihan-Nya, dan ternafikan daripada-Nya paksaan diambildaripada al-Quran, Surah al-Waqi’ah 56: 58-59, terjemahannya: Apakah kamu lihatmani yang kamu tumpahkan (ke dalam rahim wanita)? Kamukah menjadikan mani ituatau Kamikah menjadikannya? Allah menyoal manusia sama ada manusi atau Allahyang menciptakan mani. Jawaban kepada soalan itu ialah Allah karena kalaumanusia sendiri yang mencipta maninya niscaya dia boleh mendapatkan anak kalau dia kehendaki anak daripada maninyaitu. Tetapi faktanya, ada manusia yang mengingankan anak tidak mendapatkan anakdaripada maninya dan ada manusia yang tidak berhajatkan anak daripada maninyamendapat anak. Ayat al-Quran (56: 58-59) menyedarkan manusia bahwa Allah yangmencipta makhluk mengikut kehendak dan pilihan Allah sendiri (al-Asy’ari1344H., 93).
Ketiga, al-Asy’ari menyatakan bahwa Nabis.a.w. mengetahui mauduk-mauduk atau persoalan-persoalan Ilmu Kalam dan bagindatidak jahil tentang persoalan-persoalan itu. Tetapi tidak ada peristiwa yangmemerlukan Nabi s.a.w. berkata mengenai persoalan-persoalan itu sekalipunusul-usul atau prinsip-prinsipnya ada dalam al-Quran dan Sunah. Kalau persoalanal-Quran makhluk, juzuk dan tifrah wujud pada zaman hidup Nabi s.a.w. niscayabaginda menjelaskannya sama seperti baginda menjelaskan mengenai persoalanhudud, talak dan hukum-hukum Syariah yang lain yang dipersoalkan pada masahidup Nabi (al-Asy’ari 1344H., 94-95).
Dengan hujahan dan dalil di atas,al-Asy’ari menolak hujahan penentang Ilmu Kalam bahwa Nabi s.a.w. dan paraSahabatnya jahil tentang persoalan-persoalan Ilmu Kalam. Al-Asy’ari menegaskanbahwa Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui tentang persoalan-persoalan Ilmu Kalamsekalipun baginda tidak memperkatakannya karena usul-usul atau prinsip-prinsipkepada semua persoalan Ilmu Kalam ada dalam al-Quran dan Hadis.
Al-Asy’ari juga mempersoalkan sikap UlamaHadis dan Ulama Fikih yang kononya semua persoalan yang mereka bincangkanmempunyai nash dalam al-Quran dan Sunnah. Al-Asy’ari meragui dakwaansedemikian.
Mengenai hal ini al-Asy’ari menyatakanbahwa tidak semua persoalan hukum Syariah ada nash dalam al-Quran dan Hadis.Kalau semua persoalan hukum Syaiah ada nash dalam al-Quran dan Hadis niscayatidak wujud khilaf di kalangan Muslim pada zaman sebelum al-Asy’ari dan zamanhidup al-Asy’ari. Oleh karena tidak ada nash untuk persoalan Syariah yangtertentu, maka hukum mengenai persoalan itu dibuat melalui analogi (qiyas)dengan persoalan Syariah yang ada nash (al-Asy’ari 1344H., 95).
al-Asy’ari memberikan beberapa contoh dimana Ulama Fikih dan Ulama Hadis tidak mempunyai nash daripada Nabi Muhammads.a.w. untuk menyokong pendapat mereka dan pendirian mereka dalam beberapapersoalan Ilmu Kalam.
Pertama, tidak ada Hadis yang mengatakanal-Quran itu makhluk atau tidak makhluk. Kenapa penentang Ilmu Kalam mengatakanal-Quran tidak makhluk? Apakah dengan mengatakan al-Quran tidak makhluk itutidak bid’ah sedangkan tidak ada nash daripada Nabi s.a.w. mengenai al-Qurantidak makhluk?.
Kedua, tidak ada Hadis yang menyuruhseseorang Muslim bertawaquf (berdiam diri) apabila disoalkan kepada persoalanal-Quran itu makhluk atau tidak makhluk. Kenapa ada penentang Ilmu Kalam yangmengambil sikap bertawaqquf? Apakah tidak bid’ah bertawaqquf sedangkan NabiMuhammad s.a.w. tidak memberikan nash supaya bertawaqquf dalam persoalan ini?.
Ketiga, tidak ada Hadis yang menghukumkansesat dan kafir orang yang mengatakan al-Quran makhluk atau orang yangmenafikan al-Quran makhluk. Kenapa penentang Ilmu Kalam menghukumkan sesat dankafir kepada orang yang mengatakan al-Quran makhluk? (al-Asy’ari 1344H.,95-96).
Seterusnya al-Asy’ari mempersoalkandefenisi dan konsep bid’ah dan sesat yang dihukumkan oleh Ulama Hadis dan Fikihterhadap Ilmu Kalam dan Ulama Kalam. Kalaulah mereka itu benar-benar berpegangbahwa bid’ah dan sesat itu ialah melakukan sesuatu yang tidak ada nash daripadaNabi s.a.w., maka al-Asy’ari bertanya, apakah ada nash daripada Nabi s.a.w.yang menyuruh Imam Malik, al-Thawri, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah melakukankerja-kerja yang mereka lakukan? al-Asy’ari berkata: “Katakanlah kepada mereka(penentang Ilmu Kalam) bahwa Nabi s.a.w. tidak membincangkan mengenainazar-nazar, wasiat-wasiat, pembebasan hamba dan cara pengiraan harta pusakadan Nabi s.aw. tidak mengarang kitab-kitab mengenai perkara-perkara itu sepertiyang dilakukan oleh Imam Malik, al-Thawri, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Inimelazimkan kamu (penentang Ilmu Kalam) menghukumkan bid’ah dan sesat kepadakamu sendiri karena kamu melakukan atau membuat apa yang tidak dilakukan ataudisuruh oleh Nabi s.a.w.” (al-Asy’ari 1344H., 97).

No comments: